Eksistensi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) [1]
Murtadho
Pendahuluan
Pada tanggal 1 Agustus 2006 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam , Dep. Agama RI membuat kebijakan yang mengagetkan, khususnya bagi mereka para penyelenggara MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan)[2] melalui surat edaran Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi, di sana terdapat klausul mulai tahun 2007 MAK tidak lagi diizinkan menerima siswa baru. Artinya, sejak tahun itu MAK mulai berhenti beroperasi dengan kata lain dibubarkan.
Bagi orang umum mungkin masalah ini dianggap kecil. Namun bagi yang lain, yang bersimpati atau gandrung dengan ide dasar MAK, kebijakan seperti itu amat disayangkan. Alasannya antara lain pertama, kebijakan seperti itu merupakan refleksi dari penyelesaian masalah dengan jalan pintas, nir kesungguhan. Kedua, kebijakan tersebut sepertinya secara sengaja telah memotong sebagian misi utama Departemen Agama sebagai pemegang dan penyambung tradisi pembelajaran tafaqquh fid-din yang sudah diembannya sejak republik ini memproklamirkan kemerdekaannya. Ketiga, dengan kebijakan itu Departemen Agama menjadi betul-betul terjebak ke dalam arus pendidikan yang lebih berorientasi materialistik. Apabila tidak segera ada kebijaksanaan yang lebih arif dan visioner dikhawatirkan hal itu bisa menimbulkan preseden buruk bagi kiprah Departemen Agama selanjutnya, terutama menyangkut masalah pendidikan agama. Dengan kebijakan itu, Departemen Agama juga harus menanggung beban moral yang berat dan harus mempertanggungjawabkannya kepada sebagian besar warga bangsa.
Untuk itu, perlu dipikirkan ulang penutupan MAK dan bagaimana sebaiknya MAK ke depan, agar cita-cita melahirkan agamawan yang intelectual atau intelectual yang agamis, yang dibutuhkan untuk mengawal dan memajukan pemikiran keagamaan bangsa Indonesia ke depan, terlebih ketika memasuki era pasar bebas dan globalisasi.
Sejarah MAK
Sebuah momentum yang umumnya dianggap melegakan kalangan madrasah terjadi pada tahun 1975. Sebagai penjabaran dari Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1973 dalam bentuk usaha peningkatan mutu madrasah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Agama, menteri Dalam Negeri, dan Menteri P&K, masing-masing dengan nomor 6 tahun 1975, nomor 037/U/1975 dan nomor 36 tahun 1975. Inti dari SKB tersebut adalah agar secara lintas departemental dilakukan usaha bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah sehingga tingkat kualitas pengetahuan umum siswa madrasah bisa mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum siswa sekolah umum yang sederajat.
Dengan SKB 3 Menteri tersebut secara formal madrasah telah mengalami restrukturisasi, yaitu dari orientasi tafaqquh fiddin (pembelajaran agama) kepada orientasi ketenagakerjaan yang tidak berbeda dengan sekolah umum biasa. Dengan kata lain, madrasah bukan lagi tempat memberikan pendidikan dan pengajaran, yang agama Islam menjadi pokok pengajarannya, melainkan sebagai “sekolah umum di bawah pengelolaan Departemen Agama.” Dengan kuantitas dan kualitas tenaga, sarana, prasarana, faslitas, dan dana yang jauh lebih rendah dibanding sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional, madrasah bernasib hidup dan berkembang sebagai sekolah marjinal. Semua janji-janji penyediaan guru bidang studi umum, sarana, prasarana dan fasilitas termasuk alat-alat dan buku paket dari Departemen Pendidikan Nasional umumnya tidak terealisir. Inilah sebuah “ironi pencerahan” yang dialami oleh madrasah.[3]
Hal lain yang perlu dicatat adalah, melalui SKB 3 Menteri 1975, di satu sisi pemerintah telah berusaha “memodernisasi” madrasah; namun di sisi lain juga telah berdampak pada mandegnya kaderisasi ulama di madrasah. Tujuan Menteri Agama Prof. Mukti Ali untuk mencetak ulama intelek dan intelek yang ulama jauh panggang dari api. Kualitas lulusan madrasah dinilai serba tanggung: pengetahuan umum tidak menguasai, pengetahuan agama tak tahu banyak; keadaan ini berlangsung terus hingga akhir-akhir ini (atau bahkan sampai sekarang?).[4]
Sadar akan akutnya persoalan madrasah, terutama menyangkut pengkaderan ulama (program tafaqquh fid-din), pada tahun 1987 Menteri Agama Munawir Sjadzali memprakarsai proyek penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan kurikulum yang padat agama dan bahasa (Arab dan Inggeris) serta pembelajaran yang intensif dengan sistem asrama seperti pesantren (kebanyakan memang dilaksanakan di MAN pesantren). Mula-mula dibuka di lima tempat: Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember dan Ujung Pandang. Pada tahun 1990 dibuka lagi di Lampung, Surakarta, Mataram dan Martapura. Dengan seleksi ketat dan pendanaan memadai (didukung proyek), MAPK dinilai telah berhasil menyiapkan lulusan kader ulama dengan wawasan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan yang lumayan.[5]
Berkaca dari hasil MAPK, desakan masyarakat untuk membuka lebih banyak MAPK mengalir deras. Untuk merespon desakan itu, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 371 Tahun 1993, restrukturisasi madrasah dilakukan lagi yaitu dengan mengubah MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Secara substansial, antara MAPK dengan MAK tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali beban kurikuler MAPK agak lebih berat ketimbang MAK. Dari segi operasional, MAPK didukung proyek, sedangkan MAK tidak. Di samping itu, dengan KMA 371 Tahun 1993 ini Kanwil Depag diberi wewenang membuka MAK sesuai kebutuhan dan bagi MA yang mau melaksanakan, bukan saja di MAN tetapi juga di MAS. Maka jumlah MAK menjadi semakin banyak dan massif.
Namun sayang, pertambahan jumlah yang sangat besar ini tidak dibarengi dengan dukungan dana, sarana, prasarana dan tenaga yang memadai. Akibatnya, ada kecenderungan kualitas MAK mengalami degradasi yang semakin lama semakin buruk dan, pada gilirannya, minat masyarakat juga menurun drastis bahkan sejumlah MA akhirnya harus rela undur diri dari penyelenggaraan program tafaqquh fid-din (bubarnya sejumlah MAK) karena tidak lagi mendapat murid.[6]
Dalam pada itu, keluarnya UU No 20/2003 tentang Sisdiknas (UUSPN 2003) ternyata memunculkan persoalan baru. Beberapa klausul (UUSPN 2003) yang mengatur tentang jenis pendidikan, penyelenggaraan dan penjurusan (Pasal 15, 18, 30 ) tidak memberikan indikasi yang jelas tentang apa, bagaimana dan di mana status hukum dan legalitas MAK. Artinya, bukan saja masalah degradasi dan animo masyarakat yang sedang menghadang, status kelembagaan MAK pun kemungkinan sangat problematis. Untuk mengetahui hakekat persoalan secara mendalam, perlu ada penelitian yang seksama.
MAK : Lembaga Tafaqquh Fiddin
Mastuhu (1994), dan juga Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (1996/1997), menggunakan istilah tafaqquh fiddin untuk merujuk kepada corak pendidikan agama yang bukan di madrasah melainkan di pesantren, lembaga pendidikan Islam Indonesia yang secara tradisional memang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan (bahkan) mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pada pentingnya aspek moral spiritual dalam hidup bermasyarakat.[7]
Dalam penelitian ini istilah ‘(program) tafaqquh fiddin’ dipakai untuk mengacu pada program yang diusung MAK. Secara semantik, antara ‘program tafaqquh fiddin’ dengan MAK yang ada sekarang adalah dua hal yang saling terkait dan komplementer. MAK adalah lembaga pendidikan formal non-pesantren yang berperan sebagai penyambung (setidaknya sebahagian dari) ‘tradisi pesantren’ yang tujuannya adalah untuk bertafaqquh fiddin.[8] Secara substantif, hubungan MAK dan tafaqquh fiddin bagaikan wadah dan isi, MAK merupakan wadah sedangkan isinya adalah tafaqquh fiddin. Kenyataannya memang, MAK adalah bagian dari madrasah (MA) yang ada pada saat ini dengan struktur program kurikuler yang porsi pelajaran agamanya di atas 50%. Pada kelas I dan II, misalnya, 29 dari 45 jam pelajaran yang tersedia (64.45%) dialokasikan untuk mata pelajaran agama; sedangkan pada kelas III yang terdiri atas dua progam (Program Ilmu-ilmu Agama dan Program Ketrampilan), porsi masing-masingnya adalah 27 jam (60%) dan 25 jam (55.56%).[9] Ini jauh lebih tinggi dibanding porsi pelajaran agama pada MAN-SKB (3Menteri) yang 30% dan MAN-UUSPN 2/1989 (kurikulum 1994) yang 0%. Di samping itu, MAK juga menggunakan kitab-kitab klasik (kuning) sebagai referensinya. Sebagaimana diketahui, penggunaan atau peng(k)ajian kitab kuning adalah salah satu unsur utama dari ‘tradisi pesantren.’[10]
Dengan demikian, persoalan yang dihadapi MAK, termasuk gonjang-ganjing tentang kualitas, animo masyarakat, serta problematika status hukum dalam perspektif perundang-undangan yang ada, sehingga menimbulkan persoalan tentang perlu tidaknya restrukturisasi MAK, adalah juga persoalan program tafaqquh fiddin ini. Sekilas, restrukturisasi MAK nampaknya merupakan sebuah keniscayaan, dari mana program tafaqquh fiddin sebagai sarana penting bagi kaderisasi ulama diharapkan akan dapat muncul, berlangsung dari berkembang dari sebuah lembaga pendidikan formal yang lebih mumpuni. Nampaknya, kelangsungan program tafaqquh fiddin (ke depan) memang tidak harus sepenuhnya bergantung pada ada atau tidaknya lembaga MAK seperti yang ada sekarang. Dalam konteks restrukturisasi, misalnya, bila benar hal ini sebagai keniscayaan, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Misalnya, program tafaqquh fiddin terus berlangsung dan tetap dilaksanakan oleh MAK seperti adanya sekarang tetapi dengan modifikasi-modifikasi tertentu baik kelembagaan maupun manajemennya. MAK tetap ada tetapi dengan tugas baru yang tidak lagi (sepenuhnya) mengusung program tafaqquh fiddin, seperti halnya yang dialami oleh MA reguler. Atau, program tafaqquh fiddin dilaksanakan oleh lembaga lain (baik hasil metamorfosis MAK lama, lembaga yang sudah ada dengan status baru, maupun lembaga bentukan baru sama sekali); demikian seterusnya. Semua itu tergantung pada keperluan dan pilihan yang akan ditempuh oleh penentu kebijakan berdasarkan kearifan dan pertimbangan terhadap kondisi riel MAK sekarang, minat dan dukungan masyarakat konstituen, ruang dan peluang yang terbuka pada, dan selaras dengan, perundang-undangan yang berlaku, khususnya UUSPN 20/2003 serta political will dari penentu kebijakan itu sendiri. Diharapkan, pada tataran inilah penelitian ini akan memberikan kontribusi.
Pemetaan Permasalahan
Tujuan tulisan ini adalah untuk mencari jawaban : 1) Mengetahui kondisi dan manajemen penyelenggaraan yang diterapkan oleh para pengelola MAK saat ini secara lengkap, termasuk persoalan-persoalan yang timbul dan sedang dihadapi, unsur-unsur pendorong, penghambat serta kendala-kendala yang bisa diatasi dan tidak bisa diatasi. 2) Mengetahui animo dan kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran MAK dan pelayanan pendidikan yang diberikannya; apakah menurun, konstan, atau naik. 3) Mencari format penyelenggaraan program tafaqquh fid-din ke depan, termasuk, misalnya, perlu tidaknya restrukturisasi MAK.
Untuk menjawab permasalahan di atas maka dilakukanlah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penggunaan metode kualitatif ini, terutama dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan penelitian no. 1 dan 3. Penggalian informasi dilakukan melalui teknik-teknik pengamatan, wawancara mendalam, wawancara informal dan focus group discussion, di samping pengumpulan dokumen-dokumen, terutaman yang menyangkut kebijakan pimpinan sekolah, pemerintah setempat, serta data-data sekunder lain.
Untuk pertanyaan no. 2, dilakukan survey tentang aspirasi siswa MTs dan focus group discussion. Para informan antara lain terdiri atas: (a) Kepala Madrasah dan Wakil Kepala Madrasah Pengelola MAK; (b) instruktur program MAK; (c) guru; (d) tenaga administrasi; (e) Pengawas MA; (f) Kepala Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama di Kanwil; (g) pejabat dan tokoh-tokoh setempat yang dipandang perlu.
Penelitian dilakukan pada beberapa lokasi yang di sana terdapat Madrasah Aliyah Keagamaan, baik negeri maupun swasta. Sasaran penelitian di setiap propinsi adalah satu buah MA (MAN atau MAS) penyelenggara program keagamaan (MAK) serta sejumlah MTs sekitar (negeri dan swasta), yang diperkirakan sebagai potensi input murid bagi MA sasaran.
Penyelenggaraan MAK Saat Ini
- Organisasi dan Kelembagaan
Pengelolaan dan penyelenggaraan MAK hingga kini berada di persimpangan jalan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kejelasan tentang status kelembagaan MAK, apakah MAK merupakan lembaga yang mandiri atau sekedar sisipan dari pemerintah (Departemen Agama) yang pelaksanaannya dititipkan kepada beberapa lembaga pendidikan (Madrasah Aliyah) yang ditunjuk. Yang tampak memang hanya sisipan, karena jika MAK merupakan program yang mandiri, seharusnya pemerintah mempersiapkan segala sarana prasarana yang memadai mencakup struktur organisasi dan personalia, fasilitas pembelajaran seperti gedung, tenaga guru, pendanaan, kurikulum dan berbagai sarana penunjang lainnya.
Meskipun dikemas dengan visi dan misi serta tujuan yang cukup jelas dan bagus, dalam pelaksanaannya tidak dilengkapi oleh perangkat dan fasilitas pendukung yang memadai dan tidak memiliki standarisasi yang baku serta tidak dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan yang jelas. Oleh karena ketidakjelasan tersebut, program ini seolah merupakakan program bayangan dari lembaga penyelenggara.
- Administrasi dan Manajemen
Ketidakjelasan status program menyebabkan administrasi dan manajemen penyelenggaraan program juga menjadi tidak jelas, tidak terarah dan tidak mandiri. Hal semacam ini terjadi di hampir seluruh MAK terutama yang berstatus negeri. Penyelenggaraan MAK melalui SK Menteri Agama tersebut sifatnya hanya susulan dan pelaksanaannya dititipkan pada MAN, sehingga pengelolaan program belum dapat sepenuhnya lepas dari bayang-bayang kepengurusan MAN. Meskipun dalam beberapa hal, telah memiliki tenaga kepengurusan tersendiri seperti pengurus asrama, pengelola laboratorium, beberapa guru agama dan tenaga administrasi serta beberapa pengurus lainnya, namun kepemimpinan tetap menginduk pada MAN. Di samping itu, program ini tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, sehingga keterbatasan di bidang sarana prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar sangat terasa.
- Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum yang diberlakukan untuk MAK ternyata belum ada yang standar. Oleh karena belum adanya standar baku, penetapan kurikulum pada program MAK dilakukan berdasarkan musyawarah antara pengurus MAK. Penetapan ini dilakukan dengan mengacu pada tujuan dari pelaksanaan program MAK yang lebih berorientasi keagamaan. Oleh karena itu, kurikulum yang dikembangkan dikemas sesuai dengan tujuan program, sehingga lebih banyak muatan materi keagamaan sekitar 70 % dan 30 % lainnya merupakan materi umum.
Jenis materi keagamaan yang diajarkan terdiri atas 9 materi ajar yang meliputi al-Qur’an-Hadis, Ulumul Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Ushul Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Tasawuf dan Bahasa Arab. Sedangkan jenis materi umum yang diajarkan terdiri atas 16 mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Kesenian, Penjaskes, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi Antropologi dan pendidikan ketrampilan yang meliputi teknologi informasi/komputer dan Bahasa Asing.
Dilihat dari jenis materi yang diajarkan sepintas terlihat materi umum lebih banyak dari materi agama. Namun bila dilihat dari jam pelajaran yang diberikan dan semester pengajaran memperlihatkan bahwa materi keagamaan memiliki jam pelajaran jauh lebih banyak dibandingkan materi umum. Materi umum rata-rata hanya diberikan sebanyak 1 sampai dengan 3 jam pelajaran selama 2 semester, sementara materi keagamaan rata-rata diberikan sebanyak 3 jam pelajaran atau lebih dan diajarkan di hampir seluruh semester.
Khusus mata pelajaran bahasa Bahasa Arab dan Inggris diberikan pada seluruh semester (6 semester) dan diajarkan selama 6 jam pelajaran setiap minggunya. Tingginya jam pelajaran tersebut didasarkan atas alasan bahwa kedua bahasa tersebut merupakan core dari kebijakan kurikulum MAK, di samping materi pelajaran agama. Dalam hal ini, siswa dituntut menguasai kedua bahasa dalam percakapan sehari-hari. Sejak diterima menjadi siswa MAK, pada dua semester pertama siswa dipadatkan dengan pelajaran kedua bahasa baik melalui pembelajaran dalam kelas, tutorial maupun melalui kajian kelompok. Karena pada akhir semester 2 siswa sudah harus mampu berkomunikasi dengan dua bahasa tersebut. Oleh karena misi tersebut, pelajaran bahasa diberikan secara formal selama 6 semester dan ditambah dengan tutorial, belajar kelompok pada waktu di luar pelajarn formal.
Penyelenggaraan proses belajar mengajar program MAK secara umum dilakukan dengan mengadopsi sistem pondok pesantren. Pembelajaran dikemas melalui tiga program, yaitu pembelajaran pagi; program tutorial sore dan program pengkajian kitab. Meskipun demikian, di luar program yang telah terjadwal, masih ada kegiatan yang bersifat pengembangan kemampuan dan pengetahuan siswa serta kegiatan keagamaan. Kegiatan semacam ini dilakukan pada pagi hari setelah subuh sampai jam 6. Adapun jenis kegiatan yang dilakukan meliputi tilawatil/tadarus al-Qur’an, pengembangan kosakata Arab dan Inggris, kuliah tujuh menit (kultum) dengan menggunakan bahasa Arab/Inggris dan conversation Arab dan Inggris.
Program pembelajaran pagi merupakan program utama/kurikuler seperti pada madrasah regular, yakni siswa melakukan belajar pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.30 dengan materi pelajaran sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dalam hal ini, siswa mengikuti proses belajar mengajar seperti lazimnya sekolah. Kegiatan belajar mengajar dilakukan di dalam kelas yang dipimpin oleh seorang guru. Materi pelajaran terjadwal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan.
Program tutorial sore, meskipun bukan merupakan program utama/kurikuler, namun sebenarnya merupakan program inti dari penyelenggaraan MAK. Sebab, dalam program ini, materi yang diajarkan meliputi materi keagamaan (kajian keislaman) dan pengembangan serta pendalaman bahasa (Arab dan Inggris). Metode yang digunakan sama dengan program pagi yakni kegiatan belajar mengajar secara klasikal yang dipimpin oleh seorang guru/tutor. Rata-rata kegiatan ini dilakukan mulai pukul 14.30 sampai dengan pukul 17.00 wib.
Program pengkajian kitab meliputi kitab-kitab fikh, tafsir, hadis bahkan tasawuf. Program ini dilaksanakan setelah magrib selama satu jam mulai pukul 18.15 sampai dengan 19.15 menjelang isya dipimpin oleh seorang ustad atau kyai. Kegiatan belajar tidak dilakukan di kelas, tetapi di mushala dengan sistem halaqoh yakni para murid duduk melingkar mengitari ustad/kyai. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode tradisional bandongan atau biasa disebut weton, yakni seorang ustad/kyai membacakan kitab, menterjemahkannya kemudian menerangkan isinya kepada sekelompok murid yang mendengarkan. Kadang-kadang ustad/kyai mengulas beberapa buku-buku Islam dalam menerangkan isi kitab tersebut sebagai bahan perbandingan. Para murid kemudian mencatat setiap hal yang dianggap penting baik meliputi arti atau ulasan materi kitab.
Program belajar mandiri atau kelompok merupakan kegiatan rutin yang dilakukan siswa sesudah salat isya sampai dengan pukul 22.00 malam.
Secara umum demikianlah penyelenggaraan MAK terutama yang berstatus swasta, seperti MAK Diponegoro, Klungkung, Bali, dan MAK Bahrul Ulum, Jombang, Jawa Timur.
Namun, MAK yang dikelola oleh Departemen Agama melalui MAN kebijakan penyelenggaraannya sampai saat ini belum dapat sepenuhnya dilakukan secara mandiri oleh pengelola MAK. Manajemen pengelolaan program berada di bawah kepemimpinan yang sama dengan MAN, sehingga pengelola MAK belum memiliki otonomi penuh untuk melakukan pengelolaan. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa keterbatasan-keterbatasan antara lain SDM, sarana prasarana, pendanaan, dan beberapa keterbatasan lain yang hanya mampu diatasai bila dilakukan secara bersama oleh kepengurusan MAN. Oleh karena itu, MAK sampai saat ini belum dapat melepaskan diri dari keberadaan MAN.
Berbeda dengan MAK yang dikelola oleh swasta, manajemen pengelolaan program langsung ditangani oleh MAK sendiri dengan bimbingan dan binaan yayasan yang menaunginya. Pengelola MAK dalam hal ini memiliki otonomi penuh untuk melakukan pengelolaan.
- Ketenagaan
Rekrutmen ketenagaan selama ini masih dilakukan atas dasar kebijakan MAN secara umum. Hal ini dilakukan karena manajemen kepemimpinan penyelenggaraan masih dipegang oleh MAN. Di samping itu, keberadaan guru yang mengajar di MAK sebagian besar merupakan guru yang mengajar di MAN, sehingga formasi kebutuhan ketenagaan dilihat berdasarkan kebutuhan MAN secara umum. Dalam melakukan penempatan dan pendelegasian tugas, dilakukan dengan melihat pada kepentingan yang lebih mendesak dan memerlukan prioritas utama. Terhadap permasalahan yang ditemui dalam hal ketenagaan, dilakukan musyawarah oleh pengurus MAN dan MAK secara bersama-sama. Kenyataan ini ditemui di MAN 2 Model Medan Sumatera Utara sebagai penyelenggara program MAK.
- Sarana dan Prasarana
Pada awal penyelenggaraan program memang pemerintah memberikan anggaran untuk pengadaan sarana prasarana. Namun setelah sekian tahun berjalan, belum pernah ada bantuan untuk rehabilitasi sarana prasarana. Padahal, saat ini banyak sarana bangunan dan sarana belajar berupa meja kursi yang sudah mulai rusak. Terhentinya anggaran untuk rehabilitasi ini menjadikan madrasah mengalami kesulitan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kebijakan yang ditempuh oleh pengelola program saat ini adalah dengan memanfaatkan sarana prasarana yang ada, termasuk sarana milik MAN. Pengadaan sarana sebenarnya menjadi tanggung jawab MAK, namun oleh karena pengelolaan MAK belum sepenuhnya mandiri, maka pengadaan sarana tetap menjadi tanggungjawab kepengurusan MAK yang secara manjerial ditanggung bersama-sama antara pengurus MAK dan MAN.
- Pembiayaan
Meskipun penyelenggaraan program MAK memperoleh anggaran tersendiri dari pemerintah, terkadang bahkan seringkali anggaran yang digulirkan tidak memadai bahkan jauh dari mencukupi. Pada beberapa tahun terakhir, anggaran yang digulirkan oleh pemerinah semakin mengecil dan jauh dari mencukupi kebutuhan. Pemerintah mulai melepaskan tanggung jawab dari penyelenggaraan program MAK justru ketika program ini telah berhasil, sehingga kondisi MAK saat ini dirasakan hidup segan matipun tak mau. Sebab, biaya penyelenggaraan sebagian besar harus ditanggung oleh MAK. Padahal biaya operasional penyelenggaraan program ini cukup besar, mengingat padatnya mata pelajaran yang diajarkan dan menuntut hasil yang lebih baik dari MA regular. Terlebih guru-guru yang mengajar di MAK sebagian besar merupakan guru honorer yang tentu saja harus diberikan honor yang pantas setiap bulan. Sebab, selama ini pemerintah belum pernah mengangkat guru PNS bagi program MAK.
Beberapa persoalan yang dihadapi di bidang pendanaan ini memaksa pengelola MAK melakukan beberapa kebijakan untuk mengatasinya. Salah satunya adalah memungut sebagian biaya pendidikan melalui siswa. Pada masa dulu siswa yang belajar pada program MAK dibiayai sepenuhnya, baik biaya pendidikan maupun biaya hidup (living cost). Namun, saat ini hanya sebagian biaya yang ditanggung oleh madrasah. Kebijakan ini memang terasa berat, namun hal itu harus dilakukan karena madrasah sudah tidak mampu lagi menutup biaya operasional pendidikan.
- Kesiswaan
Perekrutan siswa MAK dilakukan melalui seleksi oleh tim yang dibentuk oleh penyelenggara MAK. Seleksi ini dilakukan untuk menentukan standar kompetensi minimal input siswa baru MAK. Adapun asal pendidikan siswa MAK yang ada saat ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Asal Siswa MA/MAK
Asal Siswa | Status Madrasah | Total | |||
MAK Negeri | MAK Swasta | MAN | MAS | ||
SMPN | 34 | 58 | 179 | 15 | 286 |
SMP Swasta | 28 | 73 | 41 | 6 | 148 |
MTs N | 119 | 58 | 140 | 12 | 329 |
MTs Swasta | 123 | 336 | 139 | 64 | 662 |
Lainnya | 15 | 7 | 12 | 34 | |
Total | 319 | 532 | 511 | 97 | 1459 |
Dari data di atas, siswa MA/MAK itu berasal dari tiga kelompok yaitu: siswa lulusan sekolah umum, madrasah dan di pondok pesantren (program wajar dikdas). Kelompk siswa dari sekolah umum sebanyak 434 orang (29,7%), siswa yang berasal dari madrasah sebanyak 991 (67,9%) dan yang berasal dari pondok pesantren sebanyak 34 orang (2.3%). Dari data tersebut juga dapat dilihat bahwa jumlah siswa MA/MAK yang berasal dari madrasah jauh lebih banyak (67,9 %) dibanding dengan SLTP (39,03%) atau dari pondok pesantren (2,3%). Jika dilihat dari status MA/MAK, MAK negeri, MAK Swasta, dan MAS, jumlah siswanya paling banyak berasal dari siswa MTs swasta (45,4%). Sedangkan siswa MAN paling banyak berasal dari SMP Negeri.
Sejak didirikan sampai saat ini, MAK telah meluluskan ribuan alumni. Lulusan itu rata-rata telah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yakni di berbagai perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri.
Alumni MAK ini umumnya memiliki kualitas lebih baik dibandingkan yang lain terutama dalam penguasaan materi agama dan bahasa Arab dan Inggris. Banyaknya alumni yang melanjutkan pendidikan di luar negeri itu memberikan gambaran bahwa MAK benar-benar telah mampu meluluskan alumni yang memiliki kualitas yang memadai. Akan tetapi, kadang-kadang keberadaan alumni ini tidak disambut baik oleh pemerintah, sehingga sebagian besar mereka yang sebenarnya memiliki kualitas yang sama, namun tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikannya keluar negeri hanya karena keterbatasan biaya.
Tampaknya, minat siswa MAK, baik swasta maupun negeri, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri masih sangat besar. Hal ini dapat diketahui dari tabel berikut.
Tabel
Perguruan Tinggi yang dipilih siswa setelah lulus MA/MAK
Perguruan Tinggi | Status Madrasah | Total | |||
MAK Negeri | |||||
MAK Swasta | MAN | MAS | |||
STAIN/IAIN/UIN | |||||
98 | 199 | 183 | 31 | 511 | |
PTU | |||||
33 | 99 | 199 | 33 | 364 | |
Akademi/Diploma | |||||
7 | 13 | 41 | 16 | 77 | |
PT di Luar negeri | |||||
162 | 135 | 50 | 5 | 352 | |
Lainnya | |||||
19 | 86 | 38 | 12 | 155 | |
Total | |||||
319 | 532 | 511 | 97 | 1459 |
Berdasarkan data di atas, siswa MA/MAK paling banyak ingin melanjutkan ke STAIN/IAIN/UIN setelah mereka lulus (35%). Sedangkan siswa yang memilih perguruan tinggi umum (PTU) dan perguruan di luar negeri jumlahnya hampir seimbang yakni 24,9 persen dan 24,1 persen. Hanya 5,3 persen jumlah siswa MA/MAK yang memilih melanjutkan ke Akademi/Diploma.
Apabila dilihat berdasarkan status madrasah memang agak unik. Siswa MAK Negeri cenderung memilih melanjutkan ke perguruan di luar negeri setelah mereka lulus (50,78%), sedangkan siswa MAK swasta lebih banyak ingin melanjutkan ke STAIN/IAIN/UIN (37,41%) dan hanya 25,36 persen ingin melanjutkan ke perguruan luar negeri. Sementara siswa MAN cenderung memilih perguruan tinggi umum (38,94%) dan STAIN/IAIN/UIN (35,8%).
- Lingkungan
Secara garis besar, MAK diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) dan masyarakat (swasta). MAK negeri secara mayoritas berada di luar lingkungan pesantren, sedangkan MAK swasta berada di lingkungan pesantren. Dalam konteks ini, MAK swasta mendapatkan perhatian dan perhatian yang sangat baik dari masyarakat, sementara MAK negeri berkecenderungan sebaliknya. Oleh karenanya, MAK negeri lebih menergantungkan pada subsidi pemerintah, sedangkan MAK swasta cenderung lebih mandiri.
Animo Masyarakat terhadap MAK
Kehadiran MAK sebenarnya disambut baik oleh masyarakat. Sebab, MAK memiliki nilai lebih dibandingkan madrasah lainnya yakni tingginya materi agama yang diajarkan. Bahkan, MAK merupakan ruh dari lembaga pendidikan yang ada di bawah Departemen Agama. Sebab, melalui MAK ini karakteristik madrasah masih bisa dipertahankan. Ketika madrasah menjadi sekolah umum, ruh terkikis, karena materi keagamaan mulai menipis. Melalui MAK karakteristik itu bertahan dan bahkan semakin kokoh. MAK merupakan asset/kekayaan yang wajib dipelihara dan dilestarikan bahkan dikembangkan keberadaannya agar tetap bisa menjadi kebanggaan bersama.
Sebenarnya, masyarakat terutama siswa, guru dan orang tua siswa juga masyarakat secara umum masih memiliki semangat dan minat yang cukup besar untuk mempertahankan MAK. Ini diperlihatkan dengan masih besarnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka di MAK.
Pada MAK negeri, secara umum jumlah pendaftar menunjukkan kecenderungan menurun. Bahkan, dalam kasus MAK di MAK Palembang pada tahun ajaran 2004/2005 tidak ada yang mendaftar sama sekali. Sangat sedikit MAK negeri yang mendapatkan jumlah pendaftar yang meningkat, kecuali hanya di MAK Surakarta yang cenderung naik. [11]
Kenyataan ini berbeda dengan kecenderungan MAK swasta yang jumlah pendaftar MAK cenderung stabil, bahkan meningkat. Di MAK Turus, Pandeglang, Banten, pada 2 tahun terakhir misalnya, jumlah pendaftar MAK cenderung meningkat.
Tabel
Jumlah Pendaftar dan Siswa yang Diterima
pada MAK Turus, Pandeglang, Banten
No | Tahun Ajaran | Pendaftar | Diterima | ||||
Lk | Pr | Jml | Lk | Pr | Jml | ||
1 | 2001/2002 | 17 | 27 | 44 | 15 | 26 | 41 |
2 | 2002/2003 | 21 | 16 | 37 | 19 | 15 | 34 |
3 | 2003/2004 | 20 | 21 | 41 | 18 | 18 | 36 |
4 | 2004/2005 | 23 | 22 | 45 | 19 | 21 | 40 |
5 | 2005/2006 | 27 | 32 | 59 | 25 | 30 | 55 |
6 | 2006/2007 | 30 | 32 | 62 | 30 | 32 | 62 |
Perbedaan jumlah pendaftar antara MAK negeri dengan swasta ini agaknya lebih disebabkan oleh faktor lingkungan pesantren. Sebab, MAK swasta yang diteliti ternyata banyak yang berada di lingkungan pesantren, sementara MAK negeri berada jauh dari lingkungan pesantren.
Peningkatan jumlah pendaftar dari tahun ke tahun terutama pada dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa animo/minat masyarakat terhadap MAK masih cukup besar. Besarnya minat masyarakat ini dipengaruhi oleh masih eksisnya MAK sampai saat ini. Kelemahan yang saat ini dirasakan oleh pengelola yakni berat untuk mempertahankan eksistensi tersebut karena banyaknya permasalahan yang dihadapi baik menyangkut ketenagaan, sarana prasarana dan terlebih masalah pendanaan yang saat ini lebih banyak tergantung pada siswa. Kondisi ini sebenarnya berat dirasakan oleh siswa, namun karena minat tersebut siswa tetap bersemangat untuk belajar di MAK.
Oleh karena masih besarnya animo masyarakat terhadap MAK, masyarakat (yang diwakili oleh dari guru, kepala, wakil kepala, tokoh masyarakat, orangtua siswa, siswa, pengelola, ustad, kyai, dan sebagainya) berkecenderungan kuat untuk tetap mempertahankan dan melestarikan MAK. Sebab, jika MAK dihilangkan, Departemen Agama akan kehilangan misi utamanya, karena MAK saat ini merupakan asset/kekayaan yang tak ternilai. Di samping itu masyarakat akan menjadi kehilangan, karena kiprah alumni MAK di masyarakat sangat dirasakan kehadirannya baik sebagai dai, pengurus masjid, ustad di beberapa lembaga pendidikan agama maupun di berbagai kegiatan sosial lainnya.
Namun demikian, kenyataan demikian berbeda dengan aspirasi siswa MTs terhadap pilihan sekolah yang lebih tinggi. Sebagian besar siswa MTs ingin melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dari 1801 siswa , mereka paling banyak memilih melanjutkan ke SMA (45,9%). Lainnya ingin melanjutkan ke SMK (18,8%), MAK (16,9%), MA (15,4%), dan lainnya (3,1%). Bagi siswa MTs Negeri, paling banyak mereka memilih SMA (51,52%) dan SMK (21,65%). Hanya 11,44 persen siswa MTs yang memilih MAK dan 12,93 persen memilih MA. Sisanya (2,47%) memilih lainnya. Sama dengan siswa MTs Negeri, siswa MTs swasta juga kebanyakan memilih melanjutkan ke SMA setelah mereka lulus (34,13%). Namun pada urutan berikutnya, mereka lebih banyak memilih melanjutkan ke MAK (28,33%) dan MA (29,48%). Hanya 12,79 persen siswa yang memilih SMK, sisanya (4,27%) memilih lainnya.
Tabel
Jenjang pendidikan yang dipilih siswa setelah lulus MTs
Jenjang pendidikan | Status Madrasah | Total | |
Negeri | Swasta | ||
SMA | 626 | 200 | 826 |
SMK | 263 | 75 | 338 |
MAK | 139 | 166 | 305 |
MA UMUM | 157 | 120 | 277 |
LAINNYA | 30 | 25 | 55 |
Total | 1215 | 586 | 1801 |
Aspirasi di atas tampaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, responden siswa MTs adalah siswa kelas I yang baru satu bulan naik ke kelas II, sehingga sangat dimungkinkan mereka masih belum mengenal MAK. Kedua, sosialisasi MAK di lingkungan MTs dirasakan masih sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Sebab, dari MAK yang diteliti tidak ada informasi satu pun yang menjelaskan bahwa MAK melakukan upaya sosialisasi terhadap siswa MTs.
Alternatif Strategi MAK Ke Depan
Berdasarkan hasil penelitian di berbagai daerah, kemudian didiskusikan dengan beberapa pihak, dirumuskan beberapa alternatif format penyelenggaraan MAK ke depan sebagai langkah untuk mempertahankan dan mewujudkan cita-cita luhur melahirkan agamawan yang intelek dan intelectual yang agamis. Beberapa format itu antara lain :
- MAK sebagai Lembaga Mandiri
Sebagai program tafaqquh fid-din, MAK dijadikan lokus bagi muncul dan berkembangnya kader ulama yang mumpuni dan memiliki akses pendidikan, sosial, dan politik yang lebih baik. MAK diupayakan menjadi lembaga pendidikan tersendiri (baca: mandiri) yang berorientasi pada terciptanya “ahli ilmu agama” yang sekaligus menjadi input dominan bagi program agama, baik di UIN/IAIN/STAIN maupun universitas agama di luar negeri.
Program tafaqquh fid-din idealnya diselenggarakan mulai tingkat menengah atas yakni pada MAK ini, bukan pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah pertama. Sebab, jenjang sekolah dasar dan menengah pertama diupayakan untuk memberi kesempatan bagi terciptanya warga belajar yang memiliki kecakapan-kecakapan pendidikan dasar. Dengan demikian, MAK merupakan jenjang pendidikan yang sangat strategis bagi pembinaan program tafaqquh fid-din.
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan secara eksplisit bahwa di antara jenis pendidikan adalah kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini, tafaqquh fid-din bagi MAK merupakan kejuruan “ahli ilmu agama”. Sebab, hingga saat ini masih sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, MA yang memiliki kejuruan tersendiri.
Konsekwensi atas tawaran ini adalah diperlukannya pengakuan MAK sebagai nomenklatur atau unit pelaksana teknis (UPT) tersendiri. Dengan demikian, struktur dan tata kelola organisasi MAK berdiri sendiri, terpisah dari lembaga lainnya termasuk dari MA.
- MAK sebagai Program Studi/Jurusan
Alternatif kedua, adalah MAK dimasukkan sebagai pilihan ilmu agama pada MA reguler, seperti halnya pilihan atau jurusan lainnya. Artinya, MAK semacam ini tidak lagi memiliki tata organisasi dan struktur tersendiri, tetapi sudah melebur menjadi salah satu pilihan jurusan pada MA reguler, seperti IPA, IPS, dan Bahasa.
Alternatif ini memang mempunyai kelemahan. Berdasarkan pengalaman pada masa lalu, sebelum MAPK didirikan tahun 1987, jurusan agama di MA/MAN Belum menghasilkan output yang menggembirakan. Ini pula yang menjadi alasan utama, kenapa MAPK dilahirkan. Salah satu penyebab umum ketidakberhasilan program agama di MA reguler adalah keterbatasan guru agama yang berkualitas di MA reguler. Ada dugaan bahwa guru agama di MA masih didominasi sarjana IAIN yang bahasa arabnya lemah dan tidak mempunyai kemampuan membaca kitab kuning.
- MAK sebagai Jenis Pendidikan Keagamaan
Alternatif ketiga, adalah MAK dijadikan salah satu jenis pendidikan keagamaan semacam madrasah diniyah tingkat ulya (diniyah tingkat menengah atas). Dalam UU nomor 20/2003 pasal 30 ayat (2) disebutkan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan bahwa di antara bentuk pendidikan keagamaan dalam Islam adalah pendidikan diniyah.
Dalam konteks ini, MAK dapat diselenggarakan sebagai pendidikan diniyah yang mengembangkan kecakapan “ahli agama” yang disediakan bagi siswa yang ada pada MA. Dengan kata lain, pada pagi hari siswa melaksanakan program reguler sesuai dengan program MA yang diikuti, tetapi setelah jam sekolah, sore atau malam hari, siswa mengikuti pendidikan diniyah ini. Dengan demikian, siswa yang mengikuti program MAK model ini setelah lulus memiliki kemampuan dan keahlian ilmu agama yang memadai. Jika siswa MA program ilmu agama yang mengikuti MAK model ini maka akan menjadi input UIN/IAIN/STAIN program agama atau universitas luar negeri program agama. Sedangkan siswa MA program umum yang mengikuti MAK model ini akan menjadi ahli pengetahuan umum yang memahami ilmu agama dengan sangat baik.
- MAK Mandiri dan MAK Program Studi/Jurusan (Berjalan Beriringan)
Salah satu rumusan mengusulkan agar MAK dengan format yang telah ada tetap dipertahankan, di samping dikembangkan MAK dalam bentuk program studi/jurusan di MA reguler. Namur perlu disadari sepenuhnya, bahwa alternatif ini akan menghasilkan output yang berbeda kualitasnya. Pada MAK yang mandiri, karena fokus pada usaha tafaquh fid din maka outputnya akan lebih baik.
Pilihan ini dibuat, karena berdasarkan wawancara dengan para penyelenggara MAK di lapangan, kebanyakan mereka berharap agar alumni MAK tetap berijazah sama dengan lulusan MA reguler. Mereka masih keberatan kalau lulusan MAK hanya mendapatkan ijazah persamaan sebagaimana tanda bukti lulus program kejar Paket C.
Penutup
Dari perspektif sejarah, masyarakat, dan pelaksana MAK di lapangan, mereka masih menuntut agar program tafaquh fiddin MAK ini terus dipertahankan. Diakui, penyelenggaraan MAK saat ini dihadapkan dengan kenyataan yang cenderung kurang berpihak pada pengembangan MAK. Di samping faktor finansial, tata organisasi dan penyelenggaraan yang tidak mapan, MAK juga dihadapkan dengan problematika legalitas dan undang-undang.
Kesimpulan dari penyelenggaraan MAK yang ada, menunjukkan kesan yang cenderung diametral antara MAK yang diselenggarakan masyarakat (swasta) dengan pemerintah (negeri), terutama pada jumlah pendaftar siswa MAK. Jika jumlah pendaftar siswa MAK swasta menunjukkan cenderung meningkat, paling tidak konstan, maka jumlah siswa MAK negeri berkecenderungan kuat menurun bahkan di MAK Palembang tahun ajaran 2004/2005 tidak ada yang mendaftar sama sekali, meskipun dalam kasus MAK Surakarta cenderung naik. Kenyataan ini agaknya lebih disebabkan oleh faktor lingkungan pesantren. Sebab, MAK swasta yang diteliti ternyata banyak yang berada di lingkungan pesantren, sementara MAK negeri berada jauh dari lingkungan pesantren.
Pada umumnya masyarakat masih menghendaki keberadaan MAK sebagai lembaga yang mandiri, bahkan perlu dikemas lebih baik sehingga benar-benar menjadi ruh bagi lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Selengkapnya, terdapat beberapa alternatif format mempertahankan program tafaquh fiddin MAK ke depan, yakni sebagai berikut: MAK sebagai Program mandiri, MAK sebagai Program Studi/Jurusan di MA reguler, MAK sebagai jenis pendidikan keagamaan, MAK mandiri dan MAK Prodi/Jurusan berjalan beriringan.
Sebagai penutup, tulisan ini merekomendasikan : 1) Untuk menjamin kelangsungan MAK, perlu diperjelas payung hukum dan penjabaran aturan serta ketentuan yang lebih tagas yang mengatur tentang MAK. 2) Program MAK idealnya diselenggarakan pada MA yang berada di lingkungan pondok pesantren. Sebab, lingkungan pondok pesantren sangat kondusif bagi pengembangan program yang berorientasi pada tafaqquh fid-din. Kenyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian di atas bahwa MAK yang eksis bahkan menunjukkan animo peserta mendaftar yang cenderung meningkat itu berada di lingkungan pesantren.
Demikian. 1
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama, Laporan Penelitian Evaluasi Sistem Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pndidikan pada Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), Puslitbang Pendidikan Agama, Jakarta 1992/1993
Dep. Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kurikulum Madrasah Keagamaan Tahun 1994.
Dhofier, Z. (1982), Tradisi Pesantren, Jakarta LP3ES.
Mastuhu (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS; Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Agama Islam (1996/1997), Informasi Perguruan Agama Islam
Muhaimin, AG (2002), “Inovasi dan Parodi dalam Pembinaan Madrasah: Refleksi dari Lintasan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Ahmad Syahid dan Abas Al-Jauhari, (ed.), Bahasa, Pendidikan dan Agama, 65 Tahun Prof Dr. Muljanto Sumardi, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Muchtar Naim, “Quo Vadis Pendidikan Madrasah?” (Republika, Kamis 31 Nopember dan Jum’at 1 Desember 1996).
[1] Tulisan ini disusun dari bahan-bahan perpustakaan di mana penulis bekerja, yaitu sebagai peneliti Badan Litbang Agama Dep Agama RI. Tulisan ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi dan Kebijakan Publik.
[2] Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) adalah lembaga pendidikan setingkat SLTA yang mempunyai kurikulum pendidikan 70 % agama dan 30 % umum. Keberadaan MAK ini, cikal bakalnya berasal dari MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) suatu program yang dimunculkan atas prakarsa Menteri Agama, Munawir Sadzali, pada tahun 1987 yang ingin bertujuan untuk melahirkan apa yang disebutnya ulama plus (ulama yang intelek atau intelektual yang ulama).
[3] Muhaimin, AG (2002), “Inovasi dan Parodi dalam Pembinaan Madrasah: Refleksi dari Lintasan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Ahmad Syahid dan Abas Al-Jauhari, (ed.), Bahasa, Pendidikan dan Agama, 65 Tahun Prof Dr. Muljanto Sumardi, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal. 21-39
[4] Komentar maupun ungkapan kekecewaan terhadap Madrasah Aliyah khususnya dan madrasah pada umumnya disampaikan dalam dua tulisan berturut-turut dari Muchtar Naim, “Quo Vadis Pendidikan Madrasah?” (Republika, Kamis 31 Nopember dan Jum’at 1 Desember 1996).
[5] Dari MAPK Ciamis, sebanyak 13 dari 79 orang lulusannya diterima langsung di Universitas Al-Azhar Cairo (Mesir), 56 orang di IAIN dan 10 orang lainnya belum diketahui nasibnya (Lihat: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama, Laporan Penelitian Evaluasi Sistem Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pndidikan pada Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), Puslitbang Pendidikan Agama, Jakarta 1992/1993, terutama hal. 40.
[6] Di MAK Yogyakarta, penerimaan siswa baru tahun 2004, hanya mendapat 6 (enam) orang siswa. Data keseluruhan jumlah siswa MA 2003-04 secara nasional juga menunjukkan bahwa siswa yang mengambil program MAK hanya 2,8 % (6.246 siswa) saja dari keseluruhan siswa MA yang berjumlah 223.729 siswa. Demikian juga, dari sekitar 300 MA penyelenggara MAK sekitar, 100 buah di antaranya tidak lagi membuka program keagamaan karena tidak ada atau minimnya pendaftar (EMIS Depag Tahun 2004).
[7] Mastuhu (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS; Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Agama Islam (1996/1997), Informasi Perguruan Agama Islam, hal. 19.
[8] Tidak jelas benar sejak kapan dan dalam pengertian apa istilah tafaqquh fiddin ini mulai dipakai di Indonesia, namun secara kultural istilah ini sudah lazim berlaku di kalangan kaum santri (dunia pesantren) yang akarnya bertumpu pada Firman Allah swt (QS 9: 122) yang berbunyi kira-kira: “ … mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya … ”
[9] Dep. Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kurikulum Madrasah Keagamaan Tahun 1994, hal 9-11.
[10] Uraian panjang-lebar tentang tradisi pesantren, lihat: Dhofier, Z. (1982), Tradisi Pesantren, Jakarta LP3ES.
[11] Pada tahun 2000 jumlah siswa yang mendaftar sebanyak 121 siswa yang terdiri dari 50 siswa laki-laki dan 71 siswa perempuan dan yang diterima sebanyak 77 siswa ( 35 siswa laki-laki dan 42 siswa perempuan). Tahun 2001 jumlah pendaftar 111siswa yang terdiri dari 47 siswa laki-laki dan 64 siswa perempuan dan diterima 76 siswa (38 lakil-laki dan 38 perempuan). Tahun 2002 jumlah siswa mendaftar sebanyak 113 siswa terdiri dari 47 siswa laki-laki dan 66 siswa perempuan dan yang diterima 76 siswa (36 laki-laki dan 40 perempuan). Tahun 2003 jumlah pendaftar 114 siswa terdiri dari 61 siswa laki-laki dan 53 siswa perempuam dan yang diterima sebanyak 80 siswa (40 laki-laki dan 40 perempuan). Tahun 2004 jumlah pendaftar sebanyak 111 siswa terdiri dari 56 siswa laki-laki dan 55 siswa perempuan dan yang diterima sebanyak 80 siswa (40 laki-laki dan 40 perempuan). Tahun 2005 jumlah siswa mendaftar sebanyak 126 terdiri dari 67 siswa laki-laki dan 59 siswa perempuan dan yang diterima sebanyak 84 siswa (41 laki-laki dan 43 perempuan). Tahun 2006 jumlah siswa yang mendafar sebanyak 128 siswa terdiri dari 68 siswa laki-laki dan 60 siswa perempuan dan diterima sebanyak 87 siswa (44 laki-laki dan 43 perempuan).